Jumat, 31 Oktober 2014

Budaya Dan Kepribadian

Definisi kepribadian

Hal pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah perbedaan diantara beragam budaya dalam memberi definisi kepribadian. Kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan, dan perilaku yang berbeda antara tiap individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini yaitu: kekhususan (distinctiveness) dan stabilitas serta konsistensi (stability and consistency) (Phares, 1991).
Dalam psikoanalisa Freudian tahapan-tahapan perkembangan kepribadian mulai dari oral hingga dewasa. Begitu masa kanak-kanak terlewati dan kepribadian telah terbentuk maka kepribadian adalah cenderung dalam garis konsisten di setiap waktu dan kondisi.
Dalam behavioristik bahwa kepribadian adalah kumpulan respon-respon kebiasaan. Dalam teori ini kepribadaian dipandang cenderung menetap sekalipun ada rentang toleransi respon dalam menyesuaikan stimulus dan reinforcement (reward and punishment) yang mungkin timbul.
Dalam teori Humanistik bahwa kepribadian diarahkan oleh pemenuhan level-level kebutuhan dengan puncaknya adalah keberhasikan dalam aktualisasi diri.
Pada budaya timur (East Cultures) kepribadian adalah Konstektual (constextualization), bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu pemilik tersebut mengisi hidupnya. Setiap daerah memiliki budaya yang berbeda oleh karenanya untuk dapat bertahan individu harus menyesuaikan dengan budaya setempat termasuk kemungkinan merubah kepribadiannya.
Budaya dalam ranah individual
Budaya terbagi atas ranah sosial dan ranah individual. Pada ranah sosial dikarenakan budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih baik sekedar pertemuan-pertemuan incidental. Sedangkan dalam ranah individual karena budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan masing-masing dan saling memberi pengaruh. Individu membawa budayanya pada setiap tempat dan situasi di kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari individu lain yang saling berinteraksi dan selanjutnya dibawa pulang pada budaya aslinya, dan mengembangkan budaya tersebut.
Kepribadian dalam lintas budaya.
Budaya, kepribadian, dan konsep diri saling mempengaruhi satu sama lain sekaligus dan dengan tujuan akhir bekerja integrative membentuk individu yang utuh. Kepribadian mempengaruhi dan menjadi rangka acuan dari pola pikir, perasaan, dan perilaku individu serta bertindak sebagai aspek fundamental dari setiap individu tersebut.
Kandungan teori kepribadian
Fenomena kedua yang menunjukkan hubungan antara budaya dengan kepribadian adalah masalah antesedent, atau latar belakang kondisi sosial budaya dimana suatu teori dibangun, yang mempengaruhi bagaimana isi dan suatu teori dibangun. Kondisi sosial selalu terus berubah sebagaimana budaya yang dinamis saling berasimilasi dan berakulturasi.
Metodelogi dan cara pengukuran
Bagaimana metodelogi dan cara mengukur suatu kepribadian dalam konteks lintas budaya?
  • Metodelogi: banyak sekali kesulitan dan bias yang timbul ketika dilakukan studi-studi dalam ranah psikologi lintas budaya. Misalnya persoalan bahasa, penggunaan Multilingual (peneliti dan subjek penelitian memiliki bahasa yang berbeda) sehinggan member respon yang berbeda terhadap pertanyaan dalam tes kepribadian.
  • Cara pengukuran: banyak alat-alat tes kepribadian dikembangkan oleh peneliti dari Amerika-Eropa. Sehingga sangat mungkin stimulus maupun standar norma dan interpretasi alat psikotes kurang mampu diterapkan dalam pengukuram kepribadian individu dari budaya non-western.
Locus of control
Hal yang paling menarik dalam kajian antara kepribadian dengan konteks lintas budaya adalah masalah locus of control. Menurut Rotter (1966) bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar control diri mereka terhaadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan.
Berdasarkan arahnya lokus kontrol kepribadian dibedakan menjadi dua yaitu:
  1. Internal, melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sediri.
  2. Eksternal, melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka.
Lokus control seringkali dihubungkan dengan karakter-karakter kepribadian. Literature Amerika menjelaskan bahwa pribadi-pribadi dengan lokus kontrol eksternal tampak lebih sering mengeluh namun lebih mudah berkompromi ketika menghadapi konflik.
Budaya dan Perkembangan Kepribadian

Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan dengan fungsi-fungsi bawaan sebagai dasarnya.
Stern (dalam Saffet, 1985) menyebutkan sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa ban karet). Predisposisi seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor genetic menentukan sampai dimana ban karet tadi dapat ditarik dan faktor lingkungan menentukan sampai seberapa panjang ban karet tadi akan ditarik atau direntang. Dari hipotesa diatas dapat ditarik bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang.
Gutman (1976, dalam Price, 2002) yang menyatakan bahwa sesungguhnya ada sebuah keurutan (sequence) yang universal dalam perkembangan kepribadian manusia. Ada tiga tahapan yang dialami lelaki Amerika dalam arah kedewasaanya yaitu dalam setiap tahap, individu melihat diri mereka dan dunia merekan dengan cara dan pandangan yang berbeda, memiliki dorongan-dorongan (drives) yang setiap tahapnya juga berbeda, dan begitu pula dengan gaya pertahanan dirinya.
Ditarik kesimpulan bahwa semakin seseorang bertambah tua, tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan lokus kontrol dirinya semakin mengarah ke luar (eksternal).
Budaya dan Indigenous Personalites
Yaitu suatu kajian kepribadian yang bersifat lokal. Di Indonesia kajian mengenai indigenous personality diawali oleh Darmanto Jatman (1997). Dalam bukunya Psikologi Jawa, Jatman menemukan adanya profil kepribadian manusia jawa yang memandang jiwanya adalah sebagai rasa. Rasa ini terbagi menjadi tiga, yaitu rasa subjek, rasa objek, dan rasa pertemuan subjek-objek. Ketiganya disebut rasa hidup. Kemudian dalam proses perjalanannya, manusia jawa membuat catatan-catatan dari pengalamannya bertemu dengan kenyataan-kenyataan. Catatan ini hidup, makin banyak, makin beragam, mengelompokkan diri sesuai jenis-jenisnya dan pada akhirnya memunculkan rasa aku. Disini tampak bahwa kepribadian bersifat konstektual tanpa henti.
Konsep barat tentang diri dan sifat kepribadian selalu merujuk pada diri yang terpisah, otonom, dan atomis (terbentuk dari seperangkat sifat, kemampuan, nilai dan motif yang dapat saling dipilah) dengan mencari keunika yang menunjukkan artu keterpisahan dan ketaktergantungan dengan orang lain.
Konsep budaya timur, kebertalian (relatedness), kesalingterhubungan (connectedness), dan saling ketergantungan (interdependency) merupakan landasan konsep diri yang tak terpisah dan selalu terkait dengan orang lain dan lingkungan luar.
Budaya dan Konsep Diri
Definisi konsep diri

  • Konsep diri adalah organisasi dari persepsi-persepsi diri (Burns, 1979). Organisasi dari bagaimana kita mengenal, dan menilai diri kita sendiri.
  • Suatu deskripsi mengenai siapa kita, mulai dari identitas fisik, sifat, hinggan prinsip.
  • Konsep diri adalah inti dari keberadaan (existence) dan secara naluriah tanpa disadari mempengaruhi setiap pikiran, perasaan dan perilaku individu tersebut.
Dua kontinum yang sering dilakukan untuk mempermudah studi mengenai konsep diri dalam lintas budaya adalah konstruk diri individual dan diri kolektif atau (independent construal of self dan interdependent construal of self).
  1. Diri Individual
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal, kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian, dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan.
Budaya dengan diri individu mendesain dan mengadakan seleksi untuk mendorong ketidak tergantungnya setianp anggota dengan anggota yang lain. Mereka didorong untuk membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan. Disini nilai kesuksesan dan perasaan akan harga diri membentuk khas individualism. Ketika individu sukses untuk melaksanakan tugas budaya, tidak tergantung pada orang lain, maka mereka lebih puas akan diri mereka dan harga diri merekan meningkat, hal iini dikarenakan berkat usaha keras dari individu tersebut karena mampu mampu menggapainya tanpa bantuan orang lain.
  1. Diri kolektif
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sangat khas dengan ciri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain. Tugas normatif utama pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta menyesuaikan dirinya dengan orang lain atau kelompok untuk mempu membaca dan memahami pikiran perasaan orang lain, bersimpati untuk menempati dan memainkan peran yang telah diberikan. Tugas normatif sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungan satu sama lain, sehingga diri (self) lebih fokus pada atribut eksternal termasuk kebutuhan dan harapan-harapannya.
Dalam konstruk diri kolektif, nilai keberhasilan dan harga diri apabila individu mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu fokus pada status keterikatan dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya.
Pengaruh terhadap persepsi diri
Studi yang dilakukan oleh Bond & Tak-Sing (1983) dan Shweder dan Bourne (1984) menunjukkan bagaimana perbedaan konstruk diri mempengaruhi persepsi diri. Dalam studinya yang membandingkan kelompok Amerika dengan kelompok Asia, mereka meminta subjek menuliskan beberapa karakteristik yang menggambarkan dirinya. Pada umumnya subjek memberikan beberapa respon, yaitu dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu: respon abstrak atau deskripsi sifat-kepribadian semacam (saya seorang yang mudah bersosialisasi, pemarah, dll) dan respon situasionalsemacam (saya biasanya mudah bersosialisasi dengan teman-teman dekat saya, ramah, dsb). Hasil studi menunjukkan bahwa subjek Amerika cenderung memberikan respon abstrak, sedangkan subjek Asia cenderung respon situasional. Selanjutnya dianalisis bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung menekankan pada atribut personal, kemampuan ataupun sifat kepribadian, sebaliknya individu dengan konstruk diri interdependent lebih cenderung melihat dirinya dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain (Matsumoto, 1996).
Pengaruh pada social explanation

Konsep diri juga mejadi semacam pola paduan bagi kognitif (cognitive template) dalam melakukan interpretasi  terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual (Independent self) yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal yang relatif stabil semacam: sifat kepribadian, sikap,dan kemampuan, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut juga didasari dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.
Kesalahan dalam pengambilan kesimpulan mengenai perilaku orang lain (atribusi) yang didasari asumsi atribut internal ini disebut fundamental atribution error (Ross dalam Matsumoto, 1996). Fundamental atribution error ini ditemukan tidak terjadi pada individu-individu dengan latar budaya konsep diri kolektif (interdependent culture). Budaya diri kolektif memandang perilaku individu adalah tergantung dan ditentukan oleh faktor situasional. Individu dari budaya diri kolektif ini cenderung menjelaskan perilaku orang lain dalam kerangka faktor situasional dari pada faktor internal. Pada tahun 1984, Miller menguji pola social explanation pada kominas budaya Amerika dan budaya India Hindu.
Pengaruh pada motivasi berprestasi
Menurut Feldman, 1999, motivasi adalah faktor yang membangkitkan (direct) dan menyediakan (energize) tenaga bagi perilaku manusia dan organisme lainnya. Dalam teori Motivasi Maslow, manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Sementara menurut Mc-Clelland manusia juga dimotivasi oleh dorongan sekunder yang penuh tenaga yang tidak  berbasis kebutuhan, yaitu: berprestasi, berafilasi atau menjalin hubunagn, dan berkuasa. Menurut Mc-Clelland motivasi berprestasi adalah sebuah keteguhan, karakter belajar dimana terdapat kepuasan yang diperoleh melalui perjuangan dan penggapaian suatu keunggulan, dalam arti lain suatu hasrat untuk keunggulan atau kecenderungan untuk memperjuangkan kesuksesan.
Dalam tradisi barat, konsep diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial ataupun interpersonal.  Motivasi ini dicirikan adanya kecenderungan untuk memaksa menekan diri sendiri dan secara aktif berjuang menggapai suatu kesuksesan yang individual sifatnya. Menurut Matsumoto, 1996, yang membedakan dua bentuk dari motivasi berprestasi yang berorientasi individual dan yang berorientasi sosial. Motivasi berprestasi yang berorientasi individual umumnya ditemukan pada masyarakat budaya sebagian Eropa dan Amerika. Di masyarakat China, sebaliknya motivasi berprestasi dengan orientasi sosial ditemukan lebih umum dibandingkan yang berorientasi individual.
Pengaruh pada Peningkatan Diri (Self Enhancement)
Pandangan positif mengenai diri akan membangkitkan keyakinan diri, kepercayaan diri, dan motivasi diri untuk lebih bersosialisasi dan mencapai prestasi yang lebih tinggi. Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait dengan harga diri atau kepuasan diri. Sebaliknya, harga diri atau kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan keberhasilan memainkan peranan dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga ikatan dan saling membantu. Bagi orang-orang dariinterdependent culture, melihat diri sebagai unik atau berbeda malah akan menjadikan ketidakseimbangan psikologis diri.
Pengaruh pada Emosi
Emosi dapat diklasifikasikan atas arah hubungan sosial dari emosi, yaitu apakah emosi tersebut akan mengarahkan pada pemisahan diri dengan lingkungan yang selanjutnya disebut socially disengaged emotions dan emosi yang akan mengarahkan pada keterhubungan dengan orang lain dan lingkungan luarnya atau dikenal sebagai sociallly engaged emotions. Beberapa emosi negatif semacam marah atau frustasi dimasukkan dalam socially disengaged emotions. Emosi-emosi iini cenderung mendorong terjadinya pemisahan, penarikan diri, ataupun penolakan hubungan sosial sekaligus secara simultan meningkatkan rasa penerimaan diri untuk mandiri dan lepas dari ketergantungan dengan orang lain.
  • Beberapa emosi positif semacam rasa bersahabat atau rasa menghargai dan dihargai berjalan pada arah sebaliknya dan dimasukkan dalam  sociallly engaged emotions. Emosi ini dialami sebagai hasil dan menjadi bagian dari suatu hubungan dekat atau rasa ikatan komunitas. Emosi ini sekaligus memberi energi untuk membangun hubungan yang sudah dekat menjadi lebih dekat.
Beberapa tipe dari emosi yang negatif, semacam rasa bersalah ataupun rasa hutang budi juga dimasukkan dalam tipe ini. Emosi ini biasanya merupakan hasil dari pengalaman kegagalan atau melakukan kesalahan dalam suatu hubungan. Individu yang mengalami emosi ini akan terdorog untuk melakukan harmonisasi yaiu memperbaiki kesalahan ataupun membalas budi.

Source : ( 1 )

1 komentar:

  1. Artikel yang bagus! jangan lupa mengunjungi website kami juga
    Visit Us

    BalasHapus