Awal Maret 2010 yang lalu, sebuah paket terletak di meja saya, dikirim dari seorang teman di Yogyakarta - Pak Budianto Toha (Geologi UGM). Saat dibuka, wah kejutan yang menyenangkan, sebuah buku berjilid keras berkertas mengkilap, penuh gambar dan foto, dicetak dengan baik, berjudul, “Sangiran Menjawab Dunia“. Penulisnya tak asing bagi saya, juga pasti bagi setiap pembaca artikel atau karya-karya arkeologi Indonesia, yaitu Harry Widianto dan Harry Truman Simanjuntak, dua ahli arkeologi senior Indonesia. Terima kasih Pak Bud, atas kejutan yang istimewa ini, sesuai harapan Pak Bud saya menikmati membacanya.
Buku “Sangiran Menjawab Dunia” diterbitkan oleh Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, sebuah lembaga yang paling punya autorisasi untuk menerbitkannya. Penerbitan buku ini didukung secara penuh termasuk pendanaannya oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Pak Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah memberikan sambutan di buku ini. Pak Bibit pasti sadar bahwa Sangiran adalah warisan budaya dunia, yang sangat penting dalam dunia paleoantropologi, khususnya sejarah Homo erectus (Sangiran saat ini tempat terpenting di dunia untuk mempelajari Homo erectus). Pak Bibit berharap bahwa Sangiran bisa menjadi salah satu tujuan penting dalam Tahun Kunjungan Wisata Jawa Tengah 2011″.
Dr. Harry Widianto saat ini adalah Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, sedangkan Prof. Dr. Truman Simanjuntak adalah Director of Center for Prehistoric and Austronesian Studies di Jakarta. Keduanya juga adalah peneliti utama pada Puslitbang Arkenas (Arkeologi Nasional), pengajar dan penguji mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia maupun di beberapa negara. Februari 2010 lalu saya bertemu dengan Pak Truman di TMII saat sama-sama diundang sebagai narasumber Seminar Atlantis yang diadakan oleh penerbit buku Atlantis PT Ufuk (sudah saya ceritakan di milis ini). Saat itu, Pak Truman membedah buku Atlantis karya Prof. Arysio Santos itu berdasarkan arkeologi, sedangkan saya menganalisisnya berdasarkan geologi. Kesimpulan kami sama : Indonesia bukan Atlantis yang hilang itu. Karya-karya ilmiah Pak Harry Widianto tentang Homo erectus Sangiran banyak saya pelajari pada tahun 2008 saat saya sedang menyusun sebuah makalah untuk PIT IAGI yang berhipotesis bahwa perkembangan lebih lanjut dari Homo erectus tidak berkembang di Sangiran, tetapi berkembang di aliran lebih hilir Bengawan Solo di wilayah Ngandong, Trinil dan Ngawi karena Sangiran saat itu tak layak huni lagi sebab Sangiran telah tererupsi sebagai mud volcano.
Buku “Sangiran Menjawab Dunia” enak dibaca, penjelasannya mudah dipahami sebab ditujukan untuk pembaca umum, pekerjaan penataan letak dibuat artistik sehingga “sejuk” membacanya sebab banyak variasi pemandangannya. Buku ini menjelasakan secara komprehensif hal ihwal Sangiran sebagai situs paling penting Homo erectus di dunia. Tidak hanya Sangiran saja yang diterangkan, tetapi pembaca diperkenalkan dulu kepada beberapa perihal yang berkaitan dengan manusia purba.
Buku diawali dengan penjelasan tentang Gejolak Teori Evolusi Di Akhir Abad ke-19 dari cerita tentang Charles Darwin, sang pembentuk teori evolusi 1859, kontroversi di seputarnya, para pembela dan penyerangnya, dan terakhir diceritakan tentang Eugene Dubois, dokter Belanda yang terobsesi dengan teori Darwin lalu datang ke Indonesia, mengembara ke Sumatra lalu Jawa dan akhirnya pada tahun 1891-1892 ia menemukan di Trinil, Ngawi apa yang diyakininya sebagai missing link antara kera dan manusia : fosil batok kepala, gigi dan tulang paha kiri -ketiganya membuat Dubois menyimpulkan bahwa ketiga ex fragmen yang ditemukannya itu milik suatu makhluk bukan kera bukan manusia. Bukan kera karena ketika diukur volume otaknya 900 cc (otak kera paling maju -simpanse 600 cc; otak manusia 1200 cc), lalu tulang pahanya menunjukkan bahwa sang empunyanya berjalan tegak (tentu saja Dubois tahu sebab ia seorang dokter ahli anatomi). Maka dua kata diberikannya untuk penemuan ini : Pithecanthrous erectus -manusia seperti kera (atau kera seperti manusia) yang berjalan tegak. Cocoklah ia sebagai missing link di antara kera dan manusia. Pada tahun 1980-an, nama genus Pithecanthropus diubah menjadi Homo, genus yang sama dengan manusia modern.
Charles Darwin meninggal pada 1882, ia tak menyaksikan penemuan-penemuan fosil-fosil di sekeliling hominid (makhluk mirip manusia) yang menunjukkan apa yang digagas Darwin mungkin benar : evolusi. Fosil-fosil yang ditemukan Dubois dan banyak ahli lainnya pada abad ke-20 telah dapat menunjukkan bahwa telah terjadi evolusi dari hominid paling primitif ke hominid paling modern dan mungkin juga manusia modern. Bahwa teori evolusi menimbulkan kontroversi yang besar saat Darwin hidup tentu salah satunya karena bukti-bukti fosil saat itu belum ditemukan. Meskipun bukti2 fosil telah sedemikian terang menunjukkan bahwa evolusi adalah fakta, sampai sekarang pun masih terjadi pro dan kontra evolusi itu. “Peperangan” menjadi lebih seru lagi ketika kaum kreasionis Kristen maupun Islam maju serentak menyerang para evolusionis.
Saat buku kiriman Pak Budianto Toha datang, saya sedang membaca sebuah buku yang baru diterjemahkan Kepustakaan Populer Gramedia “Evolusi” (Februari, 2010) yang ditulis oleh seorang ahli yang berkontribusi signifikan kepada teori evolusi modern, Ernst Mayr. Mayr menulis buku komprehensif tentang evolusi ini pada tahun 2001 saat usianya 97 tahun (bukan main…). Geologi tentu erat berkaitan dengan evolusi yang dikemukakan Darwin, Darwin terinspirasi mengemukakan teorinya karena geologi, dan geologi juga yang berkontribusi saat ia menyusun teorinya (lihat tulisan saya di Berita IAGI terakhir -edisi 2/2009 terbit saat PIT IAGI di Semarang- tentang bagaimana peranan Charles Lyell, salah satu bapak geologi modern, berkiprah saat Darwin menyusun teorinya).
Bab kedua buku “Sangiran Menjawab Dunia” menerangkan lebih jauh lagi tentang evolusi hominid yang disusun berdasarkan penemuan seluruh fosil hominid di seluruh dunia : di Afrika, di Eropa, di Asia sampai di Jawa. Maka di dalam bab ini, tentu ada penjelasan tentang hominid paling primitif Australopithecus afarensis, kemudian berturut-turut dijelaskan tentang A. africanus hominid pemburu pertama, A. robustus yang berbadan kekar; lalu genus baru Homo muncul sebagai Homo habilis yang mulai membuat perkakas dari batu (terkenala sebagai kebudayaan Olduvai/Oldowan) dan akhirnya si hominid terkenal yang pintar bertukang dan pengembara pertama keluar dari Afrika : Homo erectus. Diceritakan pula di bab ini tentang Homo neanderthalensis dan Homo crromagnon yang hidup di Eropa sampai akhirnya Homo sapiens tertua yang muncul juga di Afrika sebelum mereka bermigrasi ke seluruh dunia. Bab ini dengan jelas menunjukkan “timeline” sejak Australopithecus afarensis (sekitar 7 Ma-juta tahun yang lalu) sampai suatu saat secara serentak pada 0,035 Ma (35.000 tahun yang lalu) muncul jenis baru manusia bernama Homo sapiens sapiens. “Perjalanan panjang menuju manusia modern”, tulis Widianto dan Simanjuntak (2009).
Bab tiga buku “Sangiran Menjawab Dunia” mulai mengkhususkan pembahasan kepada Homo erectus, jenis hominid penghuni Sangiran, tetapi bab ini belum membahas Sangiran, baru membahas bagaimana pola kehidupan Homo erectus berdasarkan artefak-artefak yang ditinggalkannya. Dari artefak-artefak inilah para ahli arkeologi menyimpulkan suatu pola kehidupan. Bila ada fosil2 hominid pembuat artefak itu ditemukan, tentu sangat baik, dan itu terjadi di Sangiran. Bab ini menjelaskan bagaimana kapak genggam dibuat Homo erectus. Kapak genggam merupakan perkakas yang universal dari budaya paleolitikum yang ditemukan tersebar luas dari Afrika, Eropa sampai Asia. Secara umum, budaya kapak genggam ini disebut sebagai budaya Acheullian yang mulai muncul di Afrika Timur sejak 1,5 Ma. Bagaimana Homo erectus mengasah batu yang ditemukannya menjadi kapak dengan berbagai keperluan (penumbuk, pembelah, penusuk, dsb.) diceritakan di dalam bab ini.
Situs Sangiran yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Sragen dan Karanganyar, Jawa Tengah mulai diceritakan di bab keempat buku ini dan seterusnya. Situs ini merupakan situs paling lengkap untuk hunian Homo erectus sejak 1,5 juta tahun yang lalu. Kolonisasi Jawa diperkirakan sudah berlangsung pada akhir Pliosen (1,8 jt tyl). Bukti-bukti ke arah itu didasarkan pada penemuan mamalia Archidiskodon berumur Pliosen Atas di situs Bumiayu. Migrasi Homo erectus melalui jembatan darat pada zaman es mulai terjadi pada Plistosen Bawah dan mulai menghuni Sangiran pada 1,5 jt tyl. Homo erectus tertua ditemukan di Afrika berumur 1,8 jt tyl.
Situs sangiran ditemukan oleh ahli paleontologi G.H.R. von Koenigswald pada tahun 1934 melalui artefak yang ditinggalkan Homo erectus di Desa Ngebung, Sangiran. Saat itu von Koenigswald ditugaskan Belanda untuk menyusun biostratigrafi Jawa berdasarkan fosil mamalia. Penggalian yang dimulai pada tahun 1936 lalu menemukan fosil-fosil Homo erectus. Penemuan demi penemuan pun terjadi terus sampai dasawarsa terakhir ini, membuktikan bahwa Sangiran adalah situs Homo erectus yang sangat penting.
Penjelasan tentang Sangiran dimulai dengan menerangkan stratigrafi daerah Sangiran yang di salah satu formasinya ditemukan banyak fosil Homo erectus. Lapisan terbawah di Sangiran disusun oleh lempung biru Formasi Kalibeng berumur Pliosen Atas (2,4 Ma) berlingkungan pengendapan laut (dalam). Pengangkatan tektonik yang disertai aktivitas volkanik mengubah lingkungan Sangiran menjadi lingkungan rawa. Ini terjadi pada batas Plio-Pleistosen (1,8 Ma). Breksi lahar menandai peristiwa ini, yang diendapkan di atas lempung Kalibeng. Selama sebagai rawa, di Sangiran diendapkan lempung hitam Formasi Pucangan yang berlangsung sampai 0,9 Ma. Fosil paling tua ditemukan di bagian atas endapan ini berumur 1,0 Ma. Pasti Homo erectus yang lebih tua daripada ini ada sebab artefaknya yang berumur 1,2 Ma telah ditemukan. Antara 0.9-0.7 Ma, di sekitar wilayah Sangiran terjadi pengangkatan kembali; daerah ini kemudian tererosi dan mengendapkan bahan rombakannya ke wilayah Sangiran berupa pecahan gamping dan materi volkanik yang terkenal disebut lapisan Grenzbank (lapisan pembatas) sebab lapisan ini membatasi antara Formasi Pucangan di bawahnya dengan Formasi Kabuh di atasnya. Setelah 0,7 Ma, wilayah Sangiran merupakan daerah penampung endapan volkanik hasil letusan gunungapi-gunungapi di sekitarnya (Lawu-Merapi-Merbabu purba). Sangiran saat itu telah menjadi daratan. Di dalam Formasi Kabuh-lah banyak ditemukan fosil Homo erectus dengan umur 700.000-300.000 tahun. Pada 0,25 Ma diendapkan lagi breksi lahar yang mengakhiri Formasi Kabuh. Letusan volkanik masih terus terjadi sampai menjelang Resen, mengendapkan pasir volkanik Formasi Notopuro.
Fosil hominid tertua yang ditemukan di Sangiran saat ini berumur 1 Ma, tetapi artefaknya telah ditemukan di lokasi Dayu (masih di Sangiran) dan berumur 1,2 Ma. Artinya, masih mungkin terdapat Homo erectus yang lebih tua daripada 1 Ma. Berdasarkan semua fosil Homo erectus yang telah ditemukan di Sangiran dan sekitarnya (Kedungbrubus, Sambungmacan, Ngandong, Trinil, Ngawi), Pak Harry Widianto menyatakan bahwa Homo erectus di Sangiran ini bisa dikelompokkan menjadi tiga subspesies mengikuti penemuannya di lapisan tertua-termuda. Dari tua ke muda adalah : (1) Homo erectus arkaik -Plistosen Bawah 1,5-1,0 Ma ditemukan di bagian atas Formasi Pucangan, (2) Homo erectus tipikal -Plistosen Tengah 0,9-0,3 Ma ditemukan di seluruh Formasi Kabuh, dan (3) Homo erectus progresif -Plistosen Atas 0,2-0,1 Ma ditemukan di Formasi Notopuro. Homo erectus progresif tidak ditemukan di Sangiran, tetapi di wilayah2 lebih hilir dari Sangiran (Kedungbrubus, Sambungmacan, Ngandong, Trinil, Ngawi).
Mengapa Homo erectus progresif tidak ditemukan di Sangiran ? Karena tak lama setelah pengendapan Notopuro, terjadi mud volcanism di Sangiran, sehingga subspesies selanjutnya bermigrasi ke wilayah lebih hilir dan ditemukanlah fosil-fosilnya di sana, termasuk yang pertama kali ditemukan Dubois di Trinil. Begitulah kira-kira hipotesis yang saya kemukakan dalam makalah yang dipresentasikan di PIT IAGI 2008 (”Sangiran Dome, Central Java : Mud Volcanoes Eruption, Demise of Homo erectus erectus and Migration of Later Hominid”)
Secara singkat, Pak Harry dan Pak Truman pun melanjutkan cerita Sangirannya dengan fosil-fosil binatang besar yang ditemukan di Sangiran. Bila Homo erectus hanya ditemukan di lapisan bagian atas Pucangan dan Kabuh; berbagai fosil vertebrata ditemukan di semua lapisan (Kalibeng, Pucangan, grenzbank, Kabuh, Notopuro). jenis vertebrata yang paling sering ditemukan adalah jenis-jenis gajah purba, rusa, kerbau, sapi, banteng dan badak. Sebagian binatang ini sezaman dengan Homo erectus, mungkin menjadi binatang-binatang yang diburunya. Penjelasan di Sangiran diakhiri dengan cerita tentang perjuangan para ahli arkeologi dan Pemerintah Indonesia untuk menjadikan Sangiran agar diakui sebagai situs warisan budaya dunia. Perjuangan itu berhasil dengan diakuinya Sangiran oleh Unesco PBB sebagai Warisan Budaya Dunia dengan nomor 593 (dokumen WHC-96/Conf.201/21) tahun 1996. Pemerintah Indonesia sendiri tentu saja telah mengakui Sangiran sebagai Kawasan Cagar Budaya sejak 1977 (SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nom 070/0/1977).
Bab lima buku “Sangiran Menjawab Dunia” menerangkan tentang fosil-fosil Homo erectus yang ditemukan di luar Sangiran, dimulai dengan fosil yang ditemukan Dubois di Trinil, di Kedungbrubus tempat pelukis Raden Saleh pernah menggali fosil-fosil vertebrata yang banyak ditemukan di sini dan dipercayai penduduk sebagai sisa peperangan Bharatayudha di padang Kurusetra, di Perning Mojokerto tempat sebuah atap tengkorak berumur tua (1,8 Ma) ditemukan dan menimbulkan kehebohan di kalangan para ahli karena ketuaannya sehingga peneraan umur “bocah Perning” ini diragukan, di Ngandong tempat Ter Haar dan Oppenoorth menemukan fosil-fosil yang kemudian dikenal sebagai Homo erectus progresif berumur 300.000 tahun, di Sambungmacan tempat T. Jacob dan R.P Sujono menemukan fosil berupa atap tengkorak Homo erectus progresif dan perkakasanya, dan di Patiayam, lereng selatan Muria tempat yang menarik sebab Sartono menemukan geraham dan fragmen tengkorak Homo erectus yang diperkirakan seumur dengan Homo erectus tipikal di Sangiran. Penemuan di Patiayam menarik sebab tempat ini terisolasi dari Sangiran pada zaman Homo erectus tipikal berkembang. Bagaimana kedua tempat ini (yang pada masa itu terpisah sebuah selat/laut) bisa dihuni pada saat yang bersamaan tentu menarik secara paleogeografi. Pak Yahdi Zaim, yang terlibat dalam penemuan fosil di Patiayam itu tentu bisa bercerita lebih jauh.
Di dalam bab ini dijelaskan pula penemuan-penemuan terbaru fosil hominid atau artefaknya. Yang pertama adalah fosil yang pernah membuat heboh itu, yaitu Homo floresiensis yang ditemukan di Liang Bua Flores pada bulan September 2003. Umurnya kini sudah diketahui : 18.000 tahun dan disimpulkan sebagai Homo sapiens purba yang mengalami pengerdilan karena paleogeografi pulau terisolasi, seperti juga fosil gajah kerdil yang ditemukan di sini. Kini, subspesies manusia purba Flores ini disebut sebagai Homo sapiens floresiensis. Berikutnya, adalah situs-situs hunian hominid yang disebut Situs Semedo di Pegunungan Serayu Utara, Kecamatan Kedungbanteng, Tegal. Di sini ditemukan beberapa fosil vertebrata dan perkakas hominid berupa kapak dan penyerut yang terbuat dari rijang dan batugamping kersikan. Fosil Homo erectus belum ditemukan di sini. Yang terakhir adalah Situs Bringin di Ngawi, tempat ditemukannya fosil-fosil vertebrata dan ala-alat batu yang morfologinya sama dengan milik Homo erectus progresif yang ditemukan di tempat lain. Fosil hominid belum ditemukan di sini.
Bab enam buku ini, yang merupakan bab terakhir, menjelaskan tentang rencana utama (master plan) pengembangan Situs Sangiran untuk menjadi pusat informasi peradaban manusia purba bertaraf internasional. Pengembangan ini berusaha sedemikian rupa agar Sangiran yang merupakan padang gersang ini tetapi yang sesungguhnya memuat informasi yang sangat penting tentang evolusi manusia dapat dinikmati dengan mudah oleh masyarakat umum. Maka, akan didirikan pusat-pusat informasi yang terletak dekat situs-situs penggaliannya, dibagi ke dalam empat klaster (cluster) : klaster Ngebung, Klaster Bukuran, Klaster Dayu dan Klaster Krikilan. Di setiap klaster akan didirikan berbagai sarana yang akan memudahkan pengunjung memahami makna paleoantropologi dan arkeologi Homo erectus, termasuk kesempatan untuk mengamati sendiri tempat-tempat ekskavasi (lubang penggalian) tempat para ahli mencari fosil dan artefak Homo erectus.
Demikian, buku “Sangiran Menjawab Dunia” karya Dr. Harry Widianto dan Prof. Dr. Truman Simanjuntak. Seratus individu yang telah ditemukan di Sangiran memang telah menjawab dunia, yang bertanya tentang bukti evolusi….